BIOGRAFI LENGKAP

2 01 2009

Foto -1

DATA SINGKAT JUBILARIS

Nama Lengkap: Sabar Tumpal Paimaon Siahaan

Tanggal Lahir : 09 Desember 1954 di Pasar Baru Balige

Tanggal dibaptis : 07 Agustus 1955 di HKBP Balige

Manghatindanghon Haporseaon, 03 Desember 1972 di HKBP Balige oleh Pdt. Titus Simanjuntak

Hata Sipaingot : “Ahu do Panondang ni portibi on. Na so tupa mardalan di na holom na mangihuthon Ahu; di ibana do tahe Panondang hangoluan” (Johannes 8, 12)

Menikah dengan: Ratna Corry Diana br Pardede pada tanggal 23 Januari 1982 di Gereja HKBP Balige, dteguhkan oleh Pdt. Titus Simanjuntak dengan nats: “Alai marga napinillit do hamu, hamalimon na raja, bangso nabadia, houm ginomgomanNa, asa tung dibaritahon hamu denggan ni harohaon ni Ibana” (1 Petrus 2, 9)

Telah dikarunia anak:

  1. Caroline Ester Marsaulina br Siahaan, SE (10 Januari 1983)
  2. Henry Daniel Hasudungan Siahaan, SE (14 April 1985)
  3. Natalia Duma Elisabeth br Siahaan (13 Desember 1986)
  4. Samuel Fernando Siahaan (23 April 1989)

Pendidikan:

Sekolah Rakyat (SR) no V, Pelabuhan Balige (kelas 1-2), dan SR no. IV Onanraja Balige (kelas 2- tamat tahun 1965)

Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri II Soposurung Balige

Sekolah Menengah Atas (SMA) I Balige – tamat tahun 1973

Fakultas Theologia Universitas HKBP Nommensen mulai tahun 1974 dan diwisuda lulus Sarjana Muda (SMTh) 6 Juni 1978 dan diwisuda lulus Sarjana Lengkap tanggal dari STT-HKBP Pematangsiantar tanggal 13 Juni 1980.

Tahun 1990 studi lanjut di Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM) Jakarta dalam Program Master of Business Administration (MBA) Eksekutif dan diwisuda lulus tanggal 03 Juli 1991.

Ditahbiskan menjadi pendeta di HKBP Hutanamora Butar, Humbang pada tanggal 31 Oktober 1982 oleh Ompui Ephorus Pdt. G.H.M. Siahaan dengan Surat Penahbisan nomor 614/P/S-I/1982

Pelayanan di HKBP

Oktober 1980, ditugaskan menjadi pendeta praktek, sebagai Guru Huria di HKBP Berastagi Ressort Kabanjahe Tanah Karo. Setelah menerima tahbisan pendeta masih tetap melayani di huria tsb.

Tahun 1983 – ditempatkan menjadi Pendeta Huria di HKBP Jalan Pendidikan Ressort Teladan Medan.

Tahun 1985 – ditempatkan melayani sebagai Pendeta Diperbantukan di Ressort Kramat Jati bertempat tinggal di HKBP Cijantung. Dan setelah HKBP Cijantung diresmikan menjadi resort tahun 1987, ditetapkan sebagai Pendeta Ressort Cijantung.

Tahun 1989 – 1990 ditugaskan sebagai assisten dosen di Sekolah Tinggi Theologia HKBP (STT-HKBP)

Setelah menyelesaikan studi lanjut di Program MBA Eksekutif IPPM Jakarta, sejak Juli 1991ditugaskan menjadi Wakil Kepala Biro Keuangan HKBP dan enam bulan kemudian menjadi Kepala Biro Keuangan HKBP di Kantor Pusat HKBP, Pearaja Tarutung.

Pada Sinode Godang HKBP Nopember tahun 1998 terpilih menjadi Praeses HKBP dan ditugaskan melayani di Distrik III Humbang.

Dan pada periode itu juga, sejak Mei 2002 ditugaskan menjadi Praeses di Distrik VIII Jawa Kalimantan.

Pada Sinode Godang HKBP Nopember 2004, terpilih kembali menjadi Praeses, dan ditugaskan di Distrik XXVI Labuhanbatu.

BERAWAL DI SUATU PAGI

Ketika itu, persisnya pada hari Jumat, sekitar pertengahan tahun 1974, karena sudah selesai ujian dan sudah dinyatakan lulus SMA, saya disuruh bekerja di sawah yang tidak jauh dari rumah bersama ayah saya Bonifacius Siahaan. Ibu saya, Regina boru Pardede menjaga warung (karesek) sederhana di depan rumah di Jalan Gereja no. 23 Balige. Sekitar pukul 08.00 pagi, dua orang pemuda datang mencari sarapan pagi ke warung ibu. Rupanya mereka berasal dari kota Tarutung dan menginap di rumah Ompung K.Panjaitan br Napitupulu (Toke Bonang) sekitar dua rumah dari rumah kami. Kedua pemuda itu disapa ibu saya, dan ternyata mereka mau memeriksakan kesehatan ke Rumah Sakit HKBP Balige guna memperoleh Surat Keterangan berbadan sehat. Dari percakapan tsb, ibu saya mengetahui bahwa mereka akan mendaftar ke Sikola Pandita, istilah yang digunakan bagi mahasiswa Fakultas Theologia Universitas HKBP Nommensen di Pematangsiantar. Ibu saya heran karena beliau belum mendengar sudah ada pengumuman penerimaan mahasiswa di fakultas tsb. Biasanya, penerimaan ditingtinghon di huria tetapi sekali ini tidak ada.

Kemudian ibu menyuruh orang meminta saya dan ayah pulang ke rumah. Setiba di rumah, ibu memberitahu bahwa penerimaan mahasiswa Sikola Pandita sudah dibuka dan akan ditutup besoknya, hari Sabtu. Ayah saya juga heran, karena beliau rupanya sudah lama menunggu pengumuman tsb, namun tidak pernah didengarnya ada tingting di gereja HKBP Balige.

Saat itulah ayah dan ibu saya menanyakan kesudian saya untuk masuk di Sikola Pandita. Tetapi mereka memberitahukan bahwa pengurusan surat-surat hanya hari itu saja karena besoknya pendaftaran sudah akan ditutup. Entah kenapa, saya sangat ingat betul, air mata saya mengalir dengan derasnya. Saya juga tidak tahu kenapa. Sebelumnya saya tidak pernah berpikir masuk Sikola Pandita, dan tidak pernah bercita-cita menjadi pendeta. Yang saya tahu dari ayah, suami pariban saya Doris Pardede yang kawin kepada marga Hutagaol, seorang Jaksa di Kalimantan, rencananya akan membawa saya ke Kalimantan untuk mencari pekerjaan di perusahaan kayu. Ayah pernah mengatakan itu dan saya siap menunggu karena keluarga itu berencana akan datang sekitar Juni atau Juli ke Balige mengunjungi keluarga.

Tangisan itu dianggap sebagai persetujuan. Dan bersama kedua pemuda tersebut, yang kemudian setelah bersama-sama kuliah bernama Baldwin Silitonga dan Saur Simanjuntak, kami memeriksakan kesehatan. Setelah pemeriksaan selesai, saya dan ayah mengurus Surat Keterangan Berkelakuan Baik dan Bebas G.30.S ke Kantor Polisi Balige. Dan anehnya, pengurusan itu yang biasanya memakan waktu lama sampai berhari-hari, ternyata bisa selesai sekitar pukul 15.00. Dan Surat Keterangan Berbadan Sehat dari Rumah Sakit HKBP Balige saya peroleh setelah itu. Rupanya harus ada surat yang lain lagi, yaitu Rekomendasi dari Guru Huria, Pendeta Ressort dan Praeses; juga salinan ijazah dari SMA I Balige almamater saya, serta rekomendasi dari Guru Agama saya di SMA tsb. Dan aneh juga, semua surat-surat tsb dapat kami peroleh hingga pukul 19.00 malam. Dan saya tidak tahu darimana ayah dan ibu memperoleh uang untuk keperluan keberangkatan kami, karena pada waktu itu keadaan keluarga kami sangat memprihatinkan.

Tetapi yang pasti, besoknya, pada hari Sabtu kami berangkat sekitar pukul 06.00 pagi ke Pematangsiantar dengan bus pertama dari Balige dan tujuan adalah ke rumah Lae J.Lumbantobing, MA, Dekan FKIP Universitas HKBP Nommensen di Pematangsiantar. Saya masih ingat juga, ayah saya tidak lupa membawa beberapa ekor ikan mas yang masih hidup, Karena Lae J L Tobing mengawini ito saya (tepatnya kakaknya Pdt.DR.Poltak Siahaan, mantan Dirjen Bimas Kristen). Walaupun ikatan keluarga dari Siahaan sudah sangat jauh, hanya karena inangtua pariban mama saya (Toke Giat Siahaan) adalah inangudanya Pdt DR Poltak Siahaan, namun Lae Tobing ini sering datang ke rumah kami. Mereka menyambut kami dengan baik. Dan siangnya, kami dibawa Lae Tobing mendaftar ke Fakultas Theologia. Bila saya tidak salah, nama sayalah pendaftar terakhir sekitar nomor 175.

Barulah di sana saya mengetahui apa saja yang harus dipersiapkan. Sebelumnya saya tidak mempersiapkan apa-apa. Rupanya akan ada testing Bahasa Inggris, Pengetahuan Isi Alkitab, Bahasa Indonesia dan Wawancara. Saya tidak tahu harus berbuat apa-apa, tidak pernah bertanya soal ujian karena tidak pernah terbersit di pikiran akan masuk ke Perguruan Tinggi mengingat kondisi ekonomi keluarga kami yang tidak memungkinkan. Kakak dan abang sayapun tidak ada yang kuliah, semuanya sudah mencari pekerjaan. Dan kota Siantar sendiripun, setelah dewasa, saya belum pernah injak. Padahal ujian akan dilaksanakan mulai hari Senin pagi minggu berikutnya. Ayah saya harus pulang sore itu dan meninggalkan saya menginap di rumah Lae Tobing. Keadaan ini menambah beban karena saya belum pernah marhuta sada.

Namun demikian saya mempergunakan waktu yang sempit itu untuk belajar. Di rumah Lae Tobing ada juga anak paribannya Sihombing (mantan Parhalado Pusat HKBP dari Lintongnihuta) yang tinggal di kamar samping rumah. Dia memberi saya Alkitab dan bebeberapa buku Bahasa Inggris. Hari Minggu kami ibadah pagi di HKBP Tomuan.

Hari Senin-nya, ujian berlangsung dengan baik. Saya berusaha semampu saya, namun saya tidak berharap bahwa saya akan lulus. Ujian berlangsung hingga Selasa saja. Namun, karena menurut Lae Tobing, hasil ujian akan diumumkan pada hari Jumat berikutnya, saya disarankan sebaiknya tetap dulu di Siantar menunggu hasil ujian. Karena pada waktu itu komunikasi belum selancar sekarang.

Ternyata, pada hari Jumat pagi, pengumuman menyatakan saya lulus dan diterima menjadi mahasiswa baru di Fakultas Theologia Universitas HKBP Nommensen di Pematangsiantar mulai tahun ajaran 1974. Dan siang harinya, saya pulang ke Balige. Saya sangat gembira dengan hasil itu. Namun di dalam hati, ada keraguan, apakah orangtua saya mempunyai uang atau dana yang cukup untuk membelanjai saya dan kuliah saya?

Ayah dan ibu juga sangat gembira mendengar berita itu. Tetapi setelah saya beritahukan tentang uang yang akan dibutuhkan, ibu saya mengatakan: “Tauji ma jolo, molo ndang tolap be muse, disi hita so. Alai adong do Tuhanta i”.

UJIAN PERTAMA

Perkuliahan di tahun pertama berjalan dengan baik. Masa pelonco memang sangat menyakitkan. Tetapi karena sudah terbiasa bekerja keras di sawah dan di rumah, semuanya itu menjadi biasa saja. Hanya bila disuruh meminta tanda-tangan kepada senior, saya tidak mampu, karena saya sangat minder. Untunglah ada beberapa senior yang berasal dari Balige yang sudah mengenal saya. Mereka sangat membantu.

Di semester pertama kami ditempatkan di kamar barak F-1 bersama beberapa orang teman mahasiswa lainnya. Dan syukur ada seorang teman yang sudah tua, yaitu Bpk. Simon Sembiring dari GBKP. Beliau dapat menjadi orangtua dan pembina bagi kami Dan ketika itu, senior kami, yaitu abang SMP Hutasoit (yang sekarang menjadi Praeses HKBP Distrik Sibolga) yang semeja makan dengan kami, mengajak saya untuk ikut menjadi anggota Paduan Suara N-HKBP Dame. Ini menambah semangat dan menambah teman.

Namun Tuhan berencana lain. Ketika itu, pada bulan Pebruari 1975, saya baru sekitar satu bulan pulang berlibur Tahun Baru 1975 di Balige. Pagi itu, Tulang M Sianipar, seorang pedagang sembako di Jalan gereja Balige, yang biasa datang belanja ke Pematangsiantar dan sering membawa uang belanja bulanan saya, datang ke kampus dan meminta pegawai memanggil saya dari ruang kuliah. Biasanya tulang itu cukup menitipkan titipan itu di kantor, tetapi kali ini saya harus bertemu. “Ada apa”, saya pikir. Setelah bertemu, tulang itu memberitahukan bahwa ibu saya sudah seminggu sakit dan diopname di Rumah Sakit HKBP Balige, dan saya diminta segera pulang.

Siangnya saya langsung pulang. Rupanya tulang itu hanya memperhalus berita. Karena ternyata ibu saya sudah meninggal kemarin harinya. Beliau sempat dirawat selama 10 hari di Rumah Sakit. Beliau sudah sering sakit-sakitan terutama setelah kakak ipar saya, yang mengawini kakak saya Rumondang Siahaan meninggal dunia dengan tiba-tiba beberapa tahun sebelumnya. Karena kondisi ekonomi, ibu hanya meminum obat ramuan dari tumbuh-tumbuhan saja, tidak pernah berobat ke dokter.

Kematian ibu sempat membuat saya sangat terpukul. Saya sangat dekat dengan beliau. Beliau mendukung saya dalam banyak hal terutama dalam kuliah. Walaupun sepanjang yang dapat saya ingat, beliau tidak pernah ke gereja kecuali ketika kakak saya martumpol dan menikah, tetapi saya selalu melihat kekhusukannya berdoa setiap hari, dan sekali-sekali membaca Alkitab. Walaupun tidak banyak bicara, namun banyak orang yang suka bergaul dengannya karena tutur katanya yang sangat ramah. Walaupun terhadap kami beliau sangat ketat, suka cerewet, namun hatinya begitu mulia. Famili dan teman sekampungpun suka bergaul dengannya walaupun setahu saya dia tidak pernah pergi ngerumpi (masihutuhutuan) ke rumah orang lain.

Untunglah teman-teman sekamar, juga teman-teman dari perkumpulan anak-anak Toba yang kuliah di Nommensen sangat menghibur dan memberi saya dorongan. Sempat beberapa bulan saya terus belajar di kamar, tidak pergi kemana-mana selain kuliah dan gereja, bukan karena mau serius belajar, tetapi hanya karena kesedihan yang sangat mendalam.

RUPANYA ADA SEBUAH NAZAR RAHASIA

Selama beberapa tahun ayah hidup sendiri tanpa ibu. Di rumah di Balige beliau tinggal dengan kakak, abang dan adik saya. Namun rupanya hatinya juga sedih. Hingga pada suatu hari, sekitar tahun 1976 atau tahun 1977 (saya sudah lupa) beliau datang ke kampus dan mengajak saya makan pansit ke kota. Hal yang tidak pernah dilakukannya. Memang kami sering bertukar pikiran, tetapi itu hanya di kamar atau bila saya pulang ke kampung. Saya pikir pasti ada sesuatu yang sangat penting.

Dan benar. Beliau memberitahukan rahasia yng belum pernah diceritakan kepada saya selama ini, walau saya sudah berusia lebih 22 tahun. Begitu ketatnya mereka menutupi rahasia itu.

Rupanya proses kelahiran saya agak menakutkan. Ketika mengandung saya pada tahun 1954, ibu menderita penyakit yang aneh. Ketika itu keluarga kami tinggal di Jalan Patuan Nagari Pasar Baru Balige, rumah kedua sebelah kiri jalan masuk ke Huta Banjarganjang Balige. Saking parahnya, orang-orang sudah menyebut bahwa ibu saya sudah gila. Pada waktu itulah, karena proses kelahiran sudah sangat dekat padahal kondisi ibu sangat memprihatinkan, ayah saya berdoa, dan bernazar kepada Tuhan: Bila Tuhan mau menyelamatkan nyawa ibu dan anak yang akan dilahirkan (saya), beliau berjanji akan mempersembahkan anak itu (saya) menjadi hamba Allah. Itulah sebabnya, menurut beliau, saya diberi nama: Sabar, Tumpal Paimaon (Sabarlah, mahkota ditunggu)

Rupanya, ayah saya pernah gagal menjadi siswa Sekolah Guru Huria di Seminarium Sipoholon. Beliau bercita-cita menjadi guru huria dan ikut testing. Tetapi walaupun beliau dapat lulus testing kemampuan “akademis”, beliau harus kalah karena faktor tinggi dan berat yang tidak memenuhi syarat. Beliau sudah mencoba “mengelabui” dengan memakai sepatu yang berhak tinggi dan mengantongi besi, toh juga harus kalah. Dan itulah yang mendorongnya membuat nazar tsb.

Dan setelah saya lahir, menurut cerita ayahku, kesehatan ibu langsung pulih seperti sediakala. Dan usaha toko kelontong mereka pun semakin maju. Dan beberapa tahun kemudian toko itu diberi nama TOKO SABAR, di Jalan Patuan Nagari no 49 Pasar Baru Balige

UJIAN-UJIAN BERIKUTNYA

Pada tahun 1976 terjadi pergolakan kepemimpinan di HKBP yang merembes hingga ke kampus Fakultas Theologia Universitas HKBP Nommensen. Akibatnya terjadi perpecahan perkuliahan. Ketika itu saya bersama banyak mahasiswa lainnya “eksoudus” dari kampus di Jalan Sangnawaluh mencari tempat masing-masing.

Pada waktu itulah terjadi pergumulan batin, apakah kuliah ini masih akan diteruskan. Ketika itu ada teman yang mengajak saya untuk mendaftar mengikuti testing ke Departemen Keuangan. Harapan saya untuk lulus sangat besar. Namun, ada kendala. Ijazah SMA, yang menjadi syarat utama pendaftaran, tertahan di kampus, dan karena keadaan waktu itu, tidak mungkin bisa diminta dari pimpinan fakultas. Kesempatan itupun melayang.

Tetapi karena pergolakan tersebut di atas, Pimpinan HKBP memutuskan agar kami kuliah di Kantor Pusat HKI Jalan Melanton Siregar yang disebut sebagai PENGGEMBALAAN dengan Rektor Bapak Pdt. DR. W. Sihite. Ujian Sarjana Muda dapat saya selesaikan dengan baik walaupun dengan kondisi HKBP yang masih bergolak, dankondisi keuangan serta keluarga kami yang sangat memprihatinkan. Ketika wisuda ada dua yang bernama Sabar dipanggil untuk menyampaikan Kata Sambutan mewakili Wisudawan karena memperoleh ranking pertama, yaitu Sabar Silitonga dari Sarjana Lengkap dan Sabar Tumpal P. Siahaan (saya) dari Sarjana Muda.

Ujian berikutnya muncul lagi. Sebenarnya, setelah wisuda Sarjana Muda, saya sempat berencana mau mendaftar menjadi calon pendeta ke gereja GKPI (waktu itu pembimbing saya di Sarjana Muda adalah seorang pendeta dari New Zealand yang melayani di GKPI), dengan perhitungan bahwa masa praktek di GKPI hanya satu tahun, setelah itu akan ditahbiskan, dan saya bisa segera mandiri. Tetapi pihak keluarga, teman-teman, terutama pacar saya (yang menjadi isteri saya) mendorong saya untuk melanjutkan kuliah mengingat kesempatan dan prestasi yang diperoleh.

Tetapi kesulitan muncul kemudian. Ketika itu terjadi masalah dalam keluarga kami. Sehingga uang kuliah dari keluarga sempat mandek. Untunglah kakak saya, Ida boru Siahaan berusaha untuk membantu. Dan saya harus bekerja sebagai tukang jahit baju kodian. Saya tinggal di rumah keluarga Simanjuntak br Pardede di Jalan Toba Kampung Kristen yang usahanya menjahit dan menjual baju kodian. Ompungboru Pardede dan keluarga itu sangat baik membantu saya dengan memberi saya kesempatan turut menjahit dan memperoleh upah untuk uang kuliah, uang kost dan biaya lainnya. Dan selama beberapa tahun saya dipercayakan menjadi dirigent koor Punguan N-HKBP Kampung Kristen. Sahabat-sahabat anggota N-HKBP sangat baik, penuh persaudaraan, dan memberi saya banyak bantuan terutama dorongan untuk belajar lebih baik.

Tetapi, mungkin karena terlampau capek, saya jatuh sakit dan dokter memvonnis saya terserang hepatitis. Terpaksa saya diopname dan harus istirahat total selama satu bulan di Rumah Sakit HKBP Balige dan satu bulan berikutnya di rumah. Harapan untuk melanjutkan kuliah hampir pupus mengingat ujian semester sudah berlangsung padahal saya masih opname dan istirahat. Uang pembayar opname dan obat juga belum tersedia. Untunglah keluarga, terutama kakak Ida br Siahaan dan adik saya Efendi Siahaan (ketika itu sudah mulai bekerja di Jakarta dan sekarang menjadi Kepala Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta) membantu. Ratna Corry Diana, yang teman sekelasku di SMA dan sekarang menjadi pacarku memberi semangat dan harapan, yang membantuku belajar berjalan lagi di Rumah Sakit. Para Diakones yang bekerja di RS memberiku buku-buku untuk dibaca. Para perawat RS, yang sudah lama menjadi temanku, memberi banyak dorongan.

Setelah sembuh, saya kembali ke “kampus”. Bapak Rektor sangat baik hati memberi saya kesempatan ujian susulan, walaupun tidak akan ada lagi ujian ulangan (hanya sekali itu saja). Tetapi masalahnya, uang kuliah dan uang ujian harus dilunasi dahulu. Pusing benar, karena tidak punya uang. Lalu saya melaporkannya kepada Bapak Rektor, dan memberitahu bahwa saya mungkin akan menarik diri dan berhenti sebagai mahasiswa. Beliau sangat terenyuh.

Beberapa hari kemudian, beliau memberitahu bahwa saya dapat mengikuti ujian dan kuliah semester berikut, karena uang kuliah dan uang ujian sudah dilunasi oleh beberapa orang, anggota sebuah kelompok PA, yang tidak mau disebut namanya. Hingga hari ini saya tidak pernah tahu nama-nama mereka. Dan saya dapat menyelesaikan studi dan diwisuda Sarjana Lengkap dengan ranking pertama.

HUTA HATUBUAN PADUAHON.

Setelah mendaftar ke Kantor Pusat HKBP, sekitar bulan September 1980, kami dipanggil menjalani masa orientasi, dan dibina selama beberapa hari di Kantor Pusat HKBP dan dibekali dengan beragam keterampilan yang dibutuhkan dalam pelayanan. Setelah itu saya ditempatkan di HKBP Berastagi Ressort Kabanjahe Tanah Karo mulai 1 Oktober 1980.

Saya sempat bingung di mana Berastagi. Hanya namanya yang pernah saya dengar tetapi tempatnya tidak tahu. Maklum, karena kondisi ekonomi, saya hampir tidak pernah bepergian selain ke Pematangsiantar. Medan pun baru pernah saya injak ketika menghantar kakak saya berangkat ke Jakarta lewat pelabuhan laut Belawan. Untunglah ada kawan marga Aruan yang tinggal di Onanraja Balige, bekerja di kantor PU, berasal dari Kabanjahe. Berbekal uang yang sangat minim kami berangkat ke Medan, melapor ke Praeses HKBP Distrik Medan Aceh, Bapak Pdt. S.P. Siregar, yang selanjutnya menyuruh kami langsung melapor ke Pendeta HKBP Ressort Kabanjahe, Bapak Pdt. Gustav Sirait, STh dan inang br Tambunan. Mereka menerima kami dengan sangat baik. Kesan pertama saya mengatakan bahwa beliau seorang yang baik dan ramah.

Tetapi ketika itu ada gotong royong membangun pagar gereja HKBP Kabanjahe. Komandan Yonif Simbisa, yang markasnya berdekatan dengan gereja sangat berbaik hati mengerahkan seluruh anggotanya yang beragama Kristen untuk membantu bergotong royong membangun tembok tsb. Mereka masih bekerja ketika kami tiba sore hari. Setelah berkenalan dengan Bapak Pdt G Sirait, tanpa basa-basi, beliau lagsung menyuruh saya turut mengocok semen bersama dengan anggota militer itu. Saya sempat bingung, kok baru mulai mau menjadi pendeta sudah harus pegang sekop mengocok semen. Tetapi karena saya melihat Bapak Pdt G. Sirait ikut dan sangat lincah bekerja, saya ikut saja, dan ternyata sangat asyik, karena semuanya bekerja sambil bergurau. Dan malamnya semuanya makan bersama dengan B1(daging anjing) di rumah pendeta diiringi lagu-lagu dari perajurit itu. Pengalaman yang mengasyikkan dan sangat menempa jiwa saya. Ternyata menjadi pendeta bukan hanya berkotbah tetapi harus mempunyai keterampilan yang lain yang dibutuhkan jemaat.

Ketika itu ada masalah di HKBP Berastagi soal kepemimpinan jemaat (guru huria). Sehingga Bapak Pendeta Ressort melarang saya langsung pergi ke sana. Tetapi beberapa hari kemudian, bersama dengan seorang Guru SMA marga Simanjuntak yang indekost di rumah Pendeta Ressort, dengan naik Vespa milik pendeta, kami melihat-lihat kota Berastagi dan dari jauh melihat kompleks gereja. Barulah pada hari Minggu berikutnya saya bersama dengan Pendeta Ressort dan Parhalado Ressort berangkat ke HKBP Berastagi untuk acara pangojakhonon. Memang sempat terjadi ketegangan karena kami sempat dihempang untuk tidak masuk. Tetapi semua warga, Parhalado terutama Pendeta Ressort mampu menyelesaikannya sehingga acara pangojakhonon sebagai guru huria dapat berjalan dengan baik. Saya sangat bersukacita karena mereka menerima saya dengan sangat baik, karena sayalah pelayan penuh waktu yang pertama yang pernah manguluhon huria tsb. Mereka menginginkan hal-hal yang baru dan dinamis. Mereka mendukung pelayanan saya. Memang ada beberapa kerikil-kerikil, tetapi syukur, semua bisa diatasi dengan baik.

Hal yang sangat menarik dalam pelayanan di daerah ini adalah ketika warga terbuka hatinya untuk membuang kuasa-kuasa kegelapan (ulaon hasipelebeguon) yang mereka simpan. Sebelumnya, warga sangat percaya akan kekuatan gaib. Sehingga mereka membentengi diri dengan ajimat-ajimat dari kuasa kegelapan, seperti simbora, panjaga daging, dan ajimat-ajimat lainnya. Pada tahun kedua masa pelayanan, saya mengumpulkan beberapa warga dari beberapa denominasi untuk bersama-sama melakukan kegiatan penelaahan Alkitab dan berdoa bersama tanpa menyentuh hal-hal yang bersifat dogmatis. Entusiasme mereka sangat tinggi, walaupun pada akhirnya anggotanya yang tinggal hanya dari warga HKBP. Persekutuan dilakukan setiap minggu dengan berganti-ganti rumah. Banyak jiwa yang bertobat. Perpuluhanpun mulai dilakukan dan dipersembahkan. Kemauan membaca Alkitab meningkat tajam. Kemauan membantu sesama juga semakin baik. Dan, mereka dengan sukarela, setelah memahami Firman Tuhan, mau membuang segala jenis ajimat dan kuasa kegelapan yang dimilikinya, dan secara bersama-sama maupun secara pribadi berdoa meminta keampunan dosanya. Entusiame warga tentang Firman Tuhan dan kegairahan iman mereka benar-benar menggembirakan.

PACARAN SEMBILAN TAHUN BERAKHIR

Memang, hampir semua jemaat menginginkan agar pelayan penuh waktu yang melayani mereka sudah berumah-tangga. Katanya agar para ibu-ibu dan naposo perempuan tidak segan datang ke rumah huria. Itu pulalah keinginan mereka kepada saya. Tetapi karena abang saya belum menikah, dan saya juga masih merasa belum siap, niat berumah tangga ditunda dulu.

Tetapi Tuhan membuka seluruh jalan. Setelah abang saya menikah 3 bulan di Jakarta, saya mulai membicarakan maksud untuk menikah kepada ayah. Beliau merasa berat karena biaya, sebab baru menikahkan abang. Namun Tuhan membuka semua jalan. Huria memberi dorongan. Dan pada tanggal 23 Januari 1982, saya menikahi isteri saya tercinta RATNA CORRY DIANA br Pardede.

Saya masih ingat, sembilan tahun sebelumnya, ketika saya masih duduk di kelas 3A-IPA SMA Negeri I Balige, pada suatu hari kami kedatangan seorang murid baru dari SMA Sibolga. Entah kenapa, ketika itu di samping saya ada kursi kosong dan dia langsung mau duduk di sana. Saya sangat gugup, maklum celana panjang yang saya pakai sudah sangat usang karena tidak ada uang membeli yang baru. Saya sangat minder. Tetapi dia sangat ramah. Dan ketika pulang sekolah, dia mengajakku jalan pulang sama-sama. Saya menerima dengan berat hati. Hanya, ketika itu dia tidak tahu berbahasa Batak, harus memakai bahasa Indonesia. Sedikit kelebihan saya, ketika itu saya agak bisa berbahasa Indonesia walaupun masih mar”pasir-pasir”. Saya makin gugup lagi ketika tiba di depan rumahnya. Ternyata dari segi ekonomi, keluarga mereka jauh lebih tinggi ketimbang keluarga kami, yang membuat saya semakin gugup. Tetapi ketika mau berpisah dia meminta lagi agar besok pagi kami sama-sama lagi ke sekolah. Dan demikian tiap hari. Banyak teman-teman yang marah dan mengancam saya, karena mereka naksir dengan si dia. Tetapi saya tidak pernah mau naksir dengan dia, karena bagi saya itu hanyalah mimpi. Tetapi suatu kali, kelas kami berwisata ke tepi danau Toba dengan berjalan kaki. Di situlah saya baru tahu bahwa dia juga punya “hati” untuk saya. Tetapi saya tetap tidak mau bermimpi walaupun saya sering ke rumahnya dan jalan bersama dengannya.

Setelah tamat saya melanjut ke Pematangsiantar. Dan belakangan saya tahu dia ke Jakarta. Tetapi pada suatu ketika, pada suatu libur kami ketemu lagi di Balige. Dari situlah berlanjut dengan mengirimkan surat curahan hati. Dan ternyata gayung bersambut. Hubungan itu semakin dekat dan berlanjut.

Ketika saya opname di RS HKBP Balige dia sangat membantu dan memberi dorongan. Dia turut merawat dan menjaga. Ketika saya wisuda Sarjana Lengkap di HKBP Pematangsiantar, dia ikut menghadirinya. Semua anggota keluarganya sudah mengenal saya dan turut mendorong agar kami menikah. Masa pacaran yang sembilan tahun itu saya akhiri dengan menikahinya: RATNA CORRY DIANA BORU PARDEDE pada tanggal 23 Januari 1982 di gereja HKBP Balige. Saya bersyukur karena pada pesta pernikahan itu turut hadir Ompui Ephorus HKBP Bpk Ds. G.H.M. Siahaan, dan turut marhata sebagai dongantubu Siahaan. Seluruh warga HKBP se ressort Kabanjahe turut bersukacita dengan mamio kami di masing-masing huria.

AKHIRNYA, SAUT DO GABE PANDITA NI HKBP.

Setelah menikah semangat melayani semakin meningkat. Warga emaatpun semakin rajin ke rumah. Terutama Pendeta Ressort, dt. G.A. Sirait beserta inang sangat baik memberi kami banyak nasehat dan dorongan.

Tetapi pergumulan baru muncul. Ketika Pimpinan HKBP memberitahukan bahwa kamai akan menerima tahbisan pendeta, saya mulai bergumul dalam hati: apakah saya sudah layak menerima tahbisan sebagai hamba Tuhan? Pergumulan ini begitu berat mengingat hasil pelayanan saya, yang menurut penilaian saya belum cukup memadai. Terutama ketika itu ada pergumulan-pergumulan dalam pelayanan di HKBP Berastagi. Kurang lebih tiga bulan, saya terus berdoa agar Tuhan menunjukkan tanda, apakah saya sudah layak menjadi hambaNya.

Sekitar bulan Agustus 1982, kami diundang mengikuti orientasi sebagai persiapan. Isteri saya juga ikut serta walaupun sudah mengandung anak kami yang pertama. Orientasi diisi dengan penambahan wawasan dan keterampilan pelayanan, penajaman visi, penguatan komitmen pelayanan, dan terutama nasehat-nasehat yang sangat bernas dan berguna dari Ompui Ephorus G.H.M. Siahaan dan Ompuboru br Simanjuntak, dan dari Bapak Sekretaris Jenderal HKBP, Pdt. P.M. Sihombing, MTh dan inang br. Nababan.

Sepulangnya dari orientasi, pergumulan semakin berat lagi, karena saya merasa semakin tidak layak. Tetapi dengan doa, saya semakin merasakan jawaban dari Tuhan. Pergumulan mulai reda, dan saya mulai memasrahkan diri, dengan menyadari bahwa bukanlah kemampuan saya yang terutama, melainkan adalah kemauan mengandalkan anugerah dan penyertaan Tuhan yang memanggil saya. Bapak Pdt. G.A. Sirait sangat banyak membantu, baik dalam pergumulan, terutama dalam persiapan. Warga jemaat HKBP Berastagi juga mempersiapakan banyak hal, seperti jas, tas baju toga, dan keperluan-keperluan lainnya.

Dan akhirnya, kami diberi Tuhan kesempatan untuk menerima tahbisan hapanditaon di HKBP Hutanamora, Butar Humbang, pada tanggal 31Oktober 1982, dipimpin Ompui Ephorus Ds. G.H.M. Siahaan. Huria dan seluruh jemaat memberangkatkan kami dengan sukacita. Sayang sekali, ketika menuju tempat penahbisan di Butar, bus yang mereka tumpangi terbalik, sehingga mereka tidak bisa turut menyaksikan acara penahbisan itu. Tetapi setibanya kami di Berastagi, huria membuat pesta penyambutan sekaligus mangupaupa korban kecelakaan.

MENJADI BAPAK

Beberapa bulan sesudah menerima tahbisan pendeta, kami dikarunia anak pertama. Proses kelahirannya agar menegangkan karena sungsang. warga jemaat sangat kuatir dan berkumpul untuk berdoa di gereja maupun di RS Ester tempat isteri saya dirawat. Saya menjadi teringat dengan cerita ayah saya tentang proses kelahiran saya. Tetapi Dokter Ngarapdat Sinulingga, yang menangani persalinan sekaligus pemilik RS tsb diberi Tuhan kemampuan sehingga anak kami dapat lahir dengan baik pada tanggal 10 Januari 1982. Menurut beliau, kelahiran tsb merupakan mujizat.

Walaupun saya tidak punya keluarga dekat di Berastagi, tetapi ruas ni huria menjadi orangtua kami dalam kelahiran anak itu. Mereka bergantian membawa makanan yang enak. Setiap malam mereka ikut mamoholi. Naposobulung perempuan dan anak sekolah minggu mencuci baju dan mengurus pekerjaan rumah lainnya. Dan sebelum lahir, beberapa warga sudah mengusulkan beberapa nama. Dan karena itulah, setelah dibaptis anak itu kami beri nama CAROLINE (berhubungan dengan Tanah Karo) ESTER (nama rumah sakitnya) MARSAULINA (nama dari ompungnya).

Karena itulah HKBP Berastagi inilah yang saya anggap sebagai huta hatubuan paduahon (kedua). Mengapa? Itulah tempat pertama pelayanan saya di HKBP. Dan setelah dua tahun melayani di sana, dari huria inilah saya berangkat menerima tahbisan kependetaan. Dan dari huria ini pulalah saya berangkat memulai hidup berumah-tangga. Dan di Berastagi inilah saya memperoleh anak pertama kami..

MULAI BELAJAR MENGHADAPI RINTANGAN

Medan, merupakan kota yang bertumbuh cepat sekitar tahun 1980-an. Masyarakatnya mulai mengalami peningkatan taraf hidup sebagai hasil pembangunan akibat keamanan bangsa dan negara yang semakin membaik. Halak hita mulai menduduki jabatan. Warga HKBP mulai membangun rumah yang bagus.

Ke daerah yang sedang bertumbuh seperti itulah saya diutus HKBP selepas pelayanan di HKBP Berastagi. Tepatnya Mei 1983 kami diojakhon menjadi Pandita Huria di HKBP Jalan Pendidikan Ressort Teladan Medan dengan jumlah warga jemaat sekitar 170 kepala keluarga. Melayani mereka kadang-kadang susah-susah mudah. Bila kita mengunjungi warga yang relatip kaya ke rumahnya, kadang-kadang diartikan untuk meminta sesuatu (atau mungkin karena pelayan sebelumnya berbuat demikian, saya kurang tahu). Mengunjungi warga yang hidupnya pas-pasan sering dianggap mencari “teman kelompok”. Ketika itu huria tsb menghadapi beberapa persoalan. Pendeta yang kami gantikan berangkat dari huria itu dengan tidak semestinya karena ada masalah. Sementara di huria tsb sedang terjadi pergumulan tentang Panitia Pembangunan yang tidak bekerja maksimal sehingga program pembangunan gereja tidak berjalan, sementara gedung gereja sudah memprihatinkan. Di antara warga terjadi pengkotak-kotakan. Kami sebagai orang baru merasa terjepit.

Namun pelayanan melalui perkunjungan rumahtanga terus kami lakukan dengan hati yang tulus. Dalam beberapa bulan semua daerah pelayanan sudah kami kenal. Kegembiraan warga menghadiri kebaktian hari Minggu dan partangiangan juga semakin meningkat. Saya mulai belajar bagaimana mempersatukan mereka yang terkotak-kotak, walaupun sangat sulit.

Ketika itu panitia pembangunan yang lama semakin menjadi-jadi. Dengan berbekal tanda-tangan dari Pendeta Ressort Teladan, mereka mengikat kontrak dengan pemborong untuk membangun gedung gereja yang baru di tempat yang sama dengan gedung yang lama. Yang menjadi persoalan adalah, kontrak tsb ditanda-tangani tanpa sepengetahuan Parhalado, ruas maupun saya sebagai pendeta huria. Dan yang paling membuat keadaan semakin sulit adalah, pembuatan fondasi gedung baru dilakukan dengan melobangi dinding gedung gereja yang lama. Hal ini membuat kebaktian minggu dan kegiatan lainnya di gedung gereja semakin tidak nyaman. Dan semua parhalado dan warga semakin heran, siapa yang menyuruh tukang melakukan hal itu.

Akibatnya warga protes kepada panitia pembangunan. Ternyata mereka telah mengikat kontrak dengan pemborong tsb. Dan setelah dihitung-hitung, perkiraan kontrak tsb sangat jauh di atas kewajaran. Sehingga parhalado mengambil keputusan untuk membatalkan kontrak tsb dan menghentikan proses pembangunan.

Hal ini menimbulkan reaksi beragam. Pihak kontraktor membawa seorang pengacara dari Pematangsiantar ke rumah kami dan mengancam saya akan diseret ke pengadilan karena menghentikan pekerjaan. Pendeta Ressort mengadukan saya ke Praeses Distrik Medan Aceh, Pdt O.P.T Simorangkir sebagai pendeta pembangkang. Dan kami menerima surat kaleng yang isinya berupa ancaman agar meninggalkan rumah dinas huria secepatnya, bila tidak, nyawa tidak ditanggung.

Inilah pengalaman saya berhadapan dengan konflik gereja. Saya terus meminta bimbingan dari Tuhan. Kepada Bapak Praeses saya menceritakan yang sebenarnya. Walaupun pada awalnya beliau sangat sulit menerimanya, tetapi untunglah beliau berkenan datang dengan tiba-tiba ke rumah kami di Jalan Pendidikan, dan mendengar dari warga jemaat. Saat itulah beliau memahami keadaan. Namun beliau tidak memberi jalan keluar. Menghadapi ancaman tsb kami memberitahukan-nya kepada warga di sekitar gereja sehingga mereka turut mengawasi sekitar gereja dan rumah kami. Kepada ancaman pemborong kami nyatakan supaya silahkan saja mengadukan dan menempuh jalan hukum. Saya cukup percaya akan kebenaran, karena saya-lah yang ditugaskan menjadi pimpinan (guru huria) di huria tsb, sehingga segala sesuatu keputusan harus saya setujui terlebih dahulu agar bisa dilaksanakan. Dan Parhalado setuju dan mendukung sikap tsb.

Melihat keadaan tsb, setelah berkonsultasi dengan parhalado dan pengetua jemaat, panitia pembangunan harus dibubarkan karena periodenya juga sudah lama berakhir. Undanganpun disampaikan kepada mereka melalui surat dan juga melalui tingting huria. Tetapi setelah diulangi hingga tiga kali, hanya satu-dua orang dari panitia yang hadir. Dengan keputusan Parhalado, Panitia Pembangunan tsb dibubarkan secara in absentia dan kontrak dengan pemborong dianggap tidak pernah ada, karena tidak sah. Pemborong diminta untuk mengembalikan dana yang telah diterimanya dari Panitia Pembangunan. Sementara itu, pelaksanaan pembangu-nan akan ditangani langsung oleh Pandita Huria dibantu oleh Tim Pangurupi Pandita tu Ulaon Pembangunan yang berjumlah 5 orang warga.

Ternyata warga menyambut keputusan tsb dengan gembira. Dan hasilnya, walaupun waktu itu sudah bulan Desember, artinya warga jemaat sudah bersiap-siap menghadapi Natal dan Tahun Baru dan harus mengalokasikan uangnya untuk itu, namun pada saat itulah usaha pengumpulan dana dan pelaksaaan pembangunan brekembang pesat. Ternyata semua warga berlomba-lomba berpartisipasi. Hanya dalam tempo dua bulan, seluruh tiang dan ring balok gedung tsb sudah selesai.

Memang setiap keputusan pasti mempunyai resiko. Sebagian Pengurus Panitia Pembangunan yang lama menjadi “absen” ke gereja. Namun kami terus berusaha mengunjungi mereka, paling sedikit hubungan dengan keluarga dan anak-anak mereka terus kami bina. Ternyata dampaknya lebih banyak yang positip. Warga begitu bergairah melanjutkan pembangunan. Dalam tempo dua tahun, pembangunan fisik gereja berkembang pesat sekali.

Usaha pengumpulan dana untuk pembangunan tsb dilakukan dengan kegiatan pembangunan kerohanian. Banyak kegiatan untuk pembangunan kerohanian, terutama bagi generasi muda, sekolah minggu dan pemuda dilaksanakan. Hal tsb semakin meningkatkan gairah ruas mempersembahkan persembahannya bagi pembangunan. Dan yang paling mengesankan, hubungan antar warga yang sebelumnya seperti berkelompok, mulai mencair dan hampir bersatu kembali. Kegiatan-kegiatan antar wyik semakin banyak sehingga interaksi semakin baik. Hasilnya persekutuan semakin harmonis dan semakin kokoh.

Pada saat itulah kemampuan manajerial saya bertumbuh, terutama dalam hal menangani konflik horizontal agar menjadi konfluk fungsional. Dengan bimbingan dari para senior. Bapak Pdt O.P.T Simorangkir, Bapak Pdt. A. Silaban (ketika itu Pendeta Ressort Sukarame), Pdt. W. Simanjuntak (pensiunan- mantan Praeses Tanah Alas yang bertempat tinggal di Sukarame), Pdt. Kondar Lumbantoruan (Pendeta Ressort Simpang Limun) dan banyak natuatua yang membantu, mengajar, menasehati dan memberi kami semangat. Kami merasakan tangan Tuhan yang membantu kami dalam pelayanan tsb. Ketika itu, banyak pihak, terutama dari warga gereja yang “keluar” dari HKBP Teladan, mencoba mematahkan semangat kami, menakut-nakuti kami dengan mengatakan bahwa warga jemaat HKBP Jalan Pendidikan sangat sulit dan tidak mungkin dapat digerakkan. Pendeta Ressort Teladan juga tidak mendukung kami. Tetapi Tuhan memberi kami kekuatan, semangat dan arah pelayanan yang jelas. Kemampuan manajerial saya semakin bertumbuh. Pengalaman tsb menjadi guru yang baik yang diberi Tuhan kepada saya, terutama dalam menghadapi konflik gereja.

Dan melayani di HKBP Jalan Pendidikan semakin lengkap ketika keluarga kami dikaruniai seorang anak laki-laki, yang kemudian kami beri nama Henry Daniel Hasudungan Siahaan, tanggal 14 April 1985

KE JAKARTA?

Beberapa bulan kemudian, kami menerima SK dari Pimpinan HKBP untuk pindah ke Jakarta. Saya sangat terkejut. Karena baru sebulan sebelumnya saya diundang mengikuti Kursus Bahasa Inggris di Kantor Pusat HKBP. Di sana saya berbincang-bincang dengan Kepala Biro Personalia HKBP, Pdt. E. Simanungkalit. Sedikitpun tidak ada disinggung tentang rencana mutasi saya.

Saya menginformasikannya kepada Parhalado. Dan mereka bereaksi, akan berangkat menemui Pimpinan HKBP agar SK tsb dibatalkan, dengan alasan bahwa saya masih diperlukan karena pembangunan gereja sedang giat-giatnya. Saya tetap bersikukuh akan loyal menjalankan setiap ketetapan Pimpinan HKBP. Pada suatu Minggu sore, mereka secara diam-diam berkumpul, dan berencana akan berangkat menemui Bapak Sekretaris Jenderal yang ketika itu sedang menginap di Kantor Distrik Medan-Aceh. Entah kenapa, salah seorang Sintua terlambat, dan datang ke rumah kami menanyakan teman-temannya. Untunglah, sehingga saya mengetahui rencana tsb. Lalu saya menemui mereka dan dengan tegas mengatakan bahwa walaupun mereka akan menemui Pimpinan HKBP, namun saya akan tetap menjalankan SK. Pada akhirnya, rencana tsb dibatalkan.

Yang menggantikan kami adalah bapak Pdt. S.M. Marpaung. Ketika itu mereka menghadapi masalah di HKBP Binjai, sehingga harus segera meninggalkan tempat. Padahal kami belum bersiap pindah. Dan, mungkin karena desas-desus yang berkembang, parhalado sangat menolak kehadiran beliau di HKBP Jalan Pendidikan. Tetapi kami menyambut mereka sekeluarga di rumah huria. Saya mengatakan bahwa mereka adalah tamu saya. Setiap hari, saya bersama beliau mengunjungi rumah sintua, juga warga jemaat. Sehingga secara berangsur-angsur, parhalado mulai mau menerima. Dan, rencana temu pisahpun dapat ditentukan. Temu pisah dilaksanakan dengan baik dan penuh airmata. Ada puluhan kenderaan yang mengantar kami ke bandara Polonia.

Bagi saya pribadi, ke Jakarta merupakan hal yang sangat baru. Soalnya saya sama sekali belum pernah ke Jakarta, dan sama sekali tidak pernah bermimpi akan menginjak Jakarta. Terutama naik pesawat terbang, merupakan pengalaman pertama dan mendebarkan bagi saya.

Parhalado HKBP Cijantung, tempat pelayanan kami yang baru menyambut kami di Bandara Sukarno-Hatta. Hari sudah menjelang sore ketika kami tiba di rumah dinas yang disewa di Cijantung. Saya sempat heran, kok kami dibawa ke area persawahan. Ternyata gereja HKBP Cjantung memang berada di sana, dan rumah dinas masih disewa. Rumah itu kosong, tidak ada apa-apa ketika kami datang. Pariban kami yang tinggal di Kompleks Pertamina Rawamangun berkeras agar kami menginap di rumahnya. Tetapi saya berkeras harus tinggal di rumah huria tsb, karena itulah rumah saya, dan saya ditugaskan di sana, harus bersama-sama dengan jemaat di sana. Hanya isteri dan anak-anak saya saja yang ikut dengan mereka. Tetapi malam itu, rumah dinas itu diisi dan dilengkapi oleh Parhaldo dengan perabot yang dibutuhkan.

Ternyata mereka sudah lama mendambakan kehadiran seorang pendeta yang melayani di tempat itu. Tetapi saya masih ditugaskan sebagai pendeta diperbantukan di Ressort Kramat Jati yang bertempat tinggal di Cijantung. Sehingga acara pangojakhonon dilaksanakan di HKBP Kramat Jati. Dan pelayanan juga mencakup seluruh huria se ressort. Mereka sedikit kecewa dengan status tsb. Saya terpaksa bekerja ekstra guna memberi pelayanan terhadap ruas di HKBP Cijantung. Ditambah lagi kondisi kesehatan Pendeta Ressort, Bapak Pdt. J.Th. Panjaitan, yang mengidap penyakit rematik. Tetapi beliau mempercayakan banyak tugas pelayanan kepada saya. Dan keadaan tsb saya gunakan sebagai kesempatan untuk melatih diri melayani, mengatur waktu, mengatur pelayanan, termasuk melatih fisik agar tetap kuat dan sehat.

Pada tahun berikutnya, saya memberi perhatian lebih besar pada pelayanan di HKBP Cijantung dan HKBP Cibubur. Di samping tugas pelayanan di Ressort, sesuai pengaturan Pendeta Ressort saya melayani mereka dengan menggunakan waktu yang ada. Sehingga, sesuai rencana semula, Sinode Ressort Kramat Jati memutuskan untuk “pajaehon” Cijantung dan Cibubur menjadi ressort baru.

Pada tahun 1986, oleh Praeses Pdt. L.J. Napitupulu, HKBP Ressort Persiapan Cijantung, bersama dengan HKBP Cibubur, dan saya ditetapkan sebagai Pendeta Persiapan Ressort.

Selama melayani di Ressort Cijantung, warga HKBP Cijantung mampu memperluas pertapakan gereja dengan membeli tanah di belakang pertapakan yang ada, dan juga membangun rumah dinas ressort yang permanen. Di HKBP Cibubur, pembangunan gedung gereja menjadi gereja yang permanen dengan bantuan Bpk. Tarnama Sinambela yang sangat besar.

MENJADI ASISTEN DOSEN

Entah apa yang terjadi, Pimpinan HKBP menerbitkan Surat Ketetapan/Keputusan Pdt. P. Hutahaean, STh dari HKBP Ressort Bah Jambi Sumatera Timur menjadi Pendeta Ressort Cijantung, padahal saya belum dipindahkan. Saya mempertanyakannya kepada staf di Kantor Pusat namun tidak ada jawaban yang memuaskan. Dan Bpk Pdt Hutahaean mendesak harus segera datang, karena tiket kapal laut sudah dibeli, padahal Parhalado Ressort belum menyetujuinya. Namun saya memutuskan menerima beliau. Dan, walaupun tidak disetujui Parhalado, saya memutuskan untuk melaksanakan serah-terima. Terpaksa kami harus mengontrak rumah dan membeli barang-barang lagi hanya unuk beberapa minggu. Ditambah lagi ketika itu isteri saya sudah mengandung bulan ke 8 anak kami yang bungsu.

Tetapi Tuhan memberi jalan. Ketika itu Ibu Pdt. Dr. A.A. Sitompul br Manihuruk berkunjung ke rumah Pdt. David Sibuea di HKBP Pasar Minggu, dan saya kebetulan diminta melakukan pelayanan di sana. Saya menceritakan permasalahan yang saya hadapi dan Ibu br Manihuruk berjanji akan menelepon Bpk Pdt Dr A.A. Sitompul, yang sedang berada di luar negeri, untuk meminta kejelasan karena beliau adalah angota Majelis Pusat. Dari Ibu br Manihuruk saya diberitahu bahwa Majelis Pusat telah menetapkan saya pindah menjadi Asisten Dosen di STT-HKBP Pematangsiantar. Dan beliau mendesak agar saya segera berangkat.

Tanpa menunggu lama, kami sekeluarga berangkat ke Pematangsiantar. Saya masih ingat jelas, beberapa hari sebelum berangkat, Bapak. St. Drs. M.S. Siahaan mengantarkan tiket pesawat untuk kami sekeluarga. Dan puji Tuhan, mobil STT-HKBP menjemput kami dari bandara.

Pengalaman baru menjadi asisten dosen sangat mengesankan. Pada awalnya saya begitu takut ketika diminta menjadi asisten dosen Bpk DR.A.A. Sitompul dalam kuliah Seminar Perjanjian Lama. Namun karena bimbingan beliau, tugas tersebut dapat saya selesaikan dengan baik. Lalu saya diberi tugas menjadi asisten dosen dalam mata kuliah Etika, dan Praktika. Karena bentuknya diskusi, bagi saya sangat mengasyikkan, karena tidak jauh berbeda dengan diskusi di partangiangan wyik. Tetapi ini dengan persiapan pengetahuan yang memadai. Yang paling sulit adalah ketika saya diminta mengajar Perjanjian Lama, menggantikan Bpk Pdt Bonar Lumbantobing di tingkat III untuk dua kali tatap muka. Saya belum menguasai metode mengajar di depan mahasiswa. Ketika itu saya benar-benar kikuk. Namun dapat diselesaikan dengan baik. Sangat melelahkan karena saya diberi kesempatan mengajar dengan beban 12 SKS. Saya dipaksa harus belajar, belajar dan belajar. Dan ternyata, semua itu adalah jalan Tuhan mempersiapkan saya ke tugas yang lebih besar lagi.

KULIAH PASCA SARJANA?????

Suatu pagi ada pertemuan Pimpinan HKBP dengan para dosen STT-HKBP membicarakan 5 Dokumen Keesaan Gereja di Ruang Rapat Dosen. Entah kenapa, saya ikut di dalamnya, padahal saya hanyalah asisten dosen.

Tetapi yang mengagetkan adalah, ketika saya dipanggil oleh Ephorus Pdt. DR. S.A.E, Nababan untuk bertemu beliau segera di mess FKIP Nommensen. Ketika itu saya bingung, kesalahan apa yang sudah saya lakukan sehingga saya harus dipanggil. Tetapi ketika bertemu, beliau langsung menanyakan apakah saya memperhatikan keadaan yang terjadi sewaktu pertemuan tadi dimulai. Menurut beliau ada miss-administration. Dan beliau langsung menanyakan apakah saya ada minat untuk melanjutkan studi di bidang Administrasi.

Tawaran itu bagaikan pucuk dicinta, ulam tiba. Ketika di Jakarta saya bercita-cita akan kuliah di Program MBA, karena sangat diminati banyak orang sebab sangat diperlukan. Mimpi apa ini, pikir saya. Dan saya langsung mengatakan bahwa saya akan membicarakannya dulu dengan isteri saya. Ternyata isteri saya juga memberi dukungan.

Bebarapa minggu kemudian saya sudah menyelesaikan segala surat-surat untuk keperluan studi lanjut di Institut Pembinaan dan Pengembangan Manajemen (IPPM) Jalan Menteng Raya Jakarta, termasuk surat permohonan beasiswa dari Gereja Rheinlan Jerman.

Dan tanpa diduga, surat panggilan ujian saya terima. Tetapi waktunya sangat sempit. Ketika itu, tepat hari Rabu, Ompui Ephorus berada di STT-HKBP dan saya langsung memberitahukannya. Beliau meminta Biro Oikumene mempersiapkan perongkosan dengan bus. Padahal ujiannya dilaksanakan hari Senin minggu berikutnya di Jakarta. Terpaksa saya harus menambah biaya agar dapat berangkat dengan pesawat terbang pada hari Sabtu. Ujiannya sangat sulit bagi saya karena sangat berbeda dengan Ilmu Teologi yang saya geluti selama ini. Ujiannya meliputi Bahasa Inggris dengan model ujian TOEFL, matematika, psiko-test dan wawancara. Saya berusaha sekuat mungkin dengan doa yang tidak henti-hentinya. Mengingat tingkat kesulitannya, saya tidak dapat berharap banyak.

Sepulang dari Jakarta, oleh desakan Bapak Pdt. DR.A.A. Sitompul, saya mengikuti ujian Program S-2 Seagest di STT-HKBP. Ketika ujian berlangsung pada hari ketiga, pegawai STT-HKBP menyampaikan surat dari IPPM Jakarta. Dan puji Tuhan, ternyata saya lulus dan diterima di IPPM Jakarta untuk program Master of Business Administration Executive. Ketika itu, Sekretaris Jenderal HKBP, Bapak Pdt. O.P.T. Simorangkir berada di STT-HKBP. Mendengar kelulusan tsb beliau juga sangat gembira.

Jadilah saya mahasiswa Pasca Sarjana di sebuah Institut Manajemen yang tertua di Indonesia. Hal yang tidak pernah saya impikan sebelumnya. Namun, kegembiraan itu hanya sementara karena masalah dan kesulitan mulai datang.

Beasiswa untuk uang kuliah memang langsung dibayarkan Kantor Pusat ke IPPM sekitar Rp. 15 juta stahun. Tetapi biaya hidup, sewa rumah, uang buku, ongkos-ongkos, sangat-sangat tidak memadai. Padahal saya harus membayar uang sekolah anak-anak yang besarnya relatip besar di Jakarta (satu orang di SD, dan satu orang di TK). Uang tabungan terpaksa dikeluarkan. Biaya hidup ditekan seminim mungkin, dengan tinggal di rumah kontrakan yang sangat sempit. Apa boleh buat, anak-anak saya yang masih kecil, yang seharusnya membutuhkan mainan-mainan, terpaksa hanya dibelikan mainan yang murah, dari plastik yang dijual di kaki lima. Isteri saya menjahitkan baju-baju mereka menggunakan bahan-bahan lama yang ada karena terlampau mahal membeli dari toko. Bila teman-teman datang kuliah dengan Mercy Baby Benz dan mobil mewah lainnya, tetapi saya datang dengan naik bus atau naik Vespa.

Namun, benar bahwa nilai kita bukan diukur dari apa yang kita pakai, tetapi dari kemampuan kita. Memang di awalnya, terutama ketika belajar Ilmu Statistik, saya sangat tertekan karena ilmu itu belum pernah saya pelajari. Ditambah lagi dengan kondisi psikologis yang membebani. Namun, ketika saya hampir putus asa, isteri saya, Ratna Corry Diana br Pardede mengatakan: “Cobalah beberapa bulan lagi…. Kalau memang tidak bisa lagi, yahhh kita pulang, dan kita akan bayar semuanya”. Saya berusaha semaksimal mungkin, dengan belajar, belajar dan belajar. Dan bulan ketiga mulai nampak hasilnya. Sedikit demi sedikit saya mulai “at home” dan “enjoy”. Dan lama-lama, saya mulai mengumpulkan nilai dengan hasil memuaskan. Dan persahabatan dengan kawan-kawan seperti Drs. AMG Aritonang, Bpk. Drs Daulay, dll mulai semakin akrab dan saling menyemangati. Dan syukur bagi Tuhan, saya dapat menyelesaikan seluruh studi dan memperoleh gelar MBA dengan IP sebesar 3,25 dengan ranking 10.

Ketika menghadapi ujian terakhir (meja hijau), saya sempat “nervous” untuk mempertahankan tesis berjudul : “Pengembangan Sumber Daya Manusia Melalui Pelatihan, Sebuah Usaha Peningkatan Pelayanan di HKBP di Jakarta”. Dengan dorongan dan doa isteri saya, tesis tsb dapat saya pertanggung-jawabkan di hadapan dosen penguji, dan memperoleh nilai B Plus. Dengan demikian saya dinyatakan lulus.

Kebetulan lagi pada sore itu, Ompui Ephorus Pdt DR S.A.E Nababan berada di Jakarta. Dan, entah kebetulan, beliau meminta saya menjumpai beliau di Wisma PGI, Jl. Teuku Umar. Setelah bertemu, saya langsung memberitahukan bahwa saya telah lulus. Beliau agak tersentak karena tidak menyangka akan dapat selesai begitu cepat, hanya sekitar 16 bulan. Beliau meminta agar saya segera bertugas di Pearaja. Tetapi saya memohon agar saya diberi kesempatan untuk mengikuti Acara Wisuda beberapa bulan berikutnya, sambil membantu teman yang belum dapat menyelesaikan. Dan setelah diwisuda, kami sekeluarga segera berangkat menuju Pearaja, karena saya ditugaskan menjadi Wakil Kepala Biro Keuangan HKBP, mulai Mei 1991.

KEPALA BIRO KEUANGAN

Pimpinan saya di Biro Keuangan, Bapak Pdt. M. Pardede memberi saya banyak latihan dan pengetahuan praktis tentang keuangan di HKBP. Namun beliau sudah sangat ingin dipindahkan melayani di jemaat. Padahal, menurut saya, kemampuan beliau menangani keuangan HKBP dapat diandalkan. Sesudah beliau pindah tugas menjadi Pendeta Ressort di Medan, saya diangkat menjadi Kepala Biro Keuangan HKBP, dibantu oleh wakil Kepala Biro, yaitu Bpk Pdt. Marlen Pangaribuan, SE dan Bendahara Pusat, St. L.Situmeang (gelar: Elsit)

Pelayanan di Biro Keuangan saya mulai dengan membangun disiplin dan komitmen kerja semua staf yang ada, serta membangun persaudaraan dan kegairahan kerja. Setiap pagi, setelah usai kebaktian, akan ada pengarahan singkat dan meminta informasi dari setiap staf. Rata-rata staf di Biro Keuangan bekerja dengan baik.

Selanjutnya pelayanan melalui pembangunan sistem. Setelah enam bulan melayani, saya ditugaskan mengadakan studi banding ke beberapa gereja: GPIB, GKI Jabar, GKI Jateng, GKI Jatim, dan GKPB (Bali) selama hampir satu bulan. Dengan perbandingan-perbandingan tsb pada tahun 1991, bersama Wakil KaBiro kami mulai menyusun Buku Panduan Pengelolaan Administrasi Keuangan HKBP secara manual, yang dibagikan kepada seluruh Praeses untuk dijemaatkan. Unit Percetakan dan Unit STM HKBP mulai dibenahi dengan membangun Sistem Manajemen dan Sistem Akuntansi Manual, yang dilakukan oleh salah satu Akuntan Publik Anderson & Partner dari Medan. Pada tahun 1992 kami mulai menyusun Sistem Komputerisasi Administrasi Keuangan di Kantor Pusat. Hal ini masih baru sehingga membutuhkan biaya yang besar. Dan, karena banyak orang belum memahaminya, maka mereka relatip menolaknya. Sistem komunikasi di Kantor Pusat juga mulai dipikirkan mengubahnya menjadi hunting system untuk menghemat biaya. Pengadaan barang harus dilakukan melalui tender lelang. Buku Standar Administrasi Keuangan mulai dibangun, dibantu oleh Bapak Drs. Jori Marpaung, Guru Huria HKBP Sudirman Jakarta, yang kala itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan RI. Mulai juga dijajaki membuka usaha yang menghasilkan laba guna membiaya biaya operasional Kantor Pusat. Hal yang paling saya gumuli adalah: pendapatan pelayan HKBP yang berkeadilan. Peayan HKBP menerima balanjo dari huria atau unit pelayanannya. Besar balanjo itu sangat beraneka ragam. Ada yang relatip cukup, surplus, dan juga kurang dan sangat kurang. Karena itulah mutasi sering menjadi momok dan pemicu banyak persoalan. Sebenarnya, bukan mutasi itu yang menjadi pokok, tetapi balanjo yang akan diterima. Sementara itu, sistem jenjang karier bagi pelayan belum ada. Penemapatan atau mutasi dilaksanakan berdasarkan perhitungan pengambil keputusan saja. Sehingga, setiap penempatan pelayan dianggap sebagai “nasib” yang tidak bisa ditolak. Karena tidak bisa dipungkiri adanya kesenjangan balanjo di antara pelayan. Dan masing-masing memikirkan dirinya sendiri. Guna menanggulangi sementara, mulailah dilaksanakan progarm bantuan untuk Daerah Kurang Mampu (BDKM). Beberapa huria di daerah “surplus” diminta membantu balanjo pelayan di daerah kurang mampu. Hal ini sekaligus membangun solidaritas sesama pelayan.

Hingga hari ini, hal ini belum tuntas. Beberapa hal masih perlu dilakukan. Yang pertama adalah membangun sistem jenjang karier setiap pelayan berdasarkan penilaian kerja (performance). Sehingga penemapatan atau mutasi tidak pernah menjadi “alat politik” melainkan menjadi pemacu prestasi. Setelah itu, perlu dipikirkan penggajian yang merata dan berkeadilan bagi semua pelayan HKBP. Di manapun mereka melayani, mereka dijamin memperoleh pendapatan yang sama secara proporsional, yang dihitung berdasarkan Indeks Biaya Hidup. Untuk itu HKBP perlu mempunyai map (peta) keuangan yang jelas: berapa sebenarnya kebutuhan riil seluruh pelayan dan pelayanan HKBP, dan dari sanalah disusun rencana pendapatan HKBP dari tingkat huria, ressort, distrik dan pusat Dalam hal inilah HKBP harus mempunyai unit usaha yang memberi keuntungan guna menopang pendapatan tsb. Sentralisasi penggajian adalah di mana setiap pelayan memperoleh balanjo dari huria atau unit pelayanan di mana dia melayani dengan jumlah yang sama secara proporsional dengan sesama pelayan lainnya di tempat lain. Masing-masing huria, ressort, distrik diberi “target” yang harus dipenuhi untuk membiaya balanjo tsb. “Na umpeop otik ndang hurangan, jala na umpeop godang ndang marlobilobi”. Dan untuk tu, Kantor Pusat perlu menyediakan dana cadangan untuk sekitar 3-4 bulan dari seluruh biaya (sekarang jumlahnya sekitar Rp. 5 miliar) sebagai dana cadangan menunggu dana dari huria, ressort dan distrik terkumpul setiap bulan. Hal ini masih terus membebani say hingga hari ini. Nampaknya saya belum bisa tidur nyenayk sebelum hal ini dapat dicapai oleh HKBP.

MEMASUKI KRISIS HKBP

Ketika menjadi Kepala Biro Keuangan, sudah mulai nampak gejala krisis di HKBP. Entah mengapa, karena Ephorus HKBP berhalangan, saya diberi Surat Tugas oleh Ephorus untuk mewakili beliau menanda-tangani Surat Perjanjian Kerja dengan pihak Anderson & Partners dalam kerjasama membangun Sistem Manajemen dan kuntansi di Percetakan HKBP dan di STM HKBP Pematangsiantar. Setelah menandatangani perjanjian tsb saya melakukan studi banding tadi. Ternyata, hal itu menimbulkan masalah dengan Bapak Sekretaris Jenderal HKBP. Sepulangnya dari studi banding, ayah menemui saya dengan menangis karena membaca koran SIB yang memuat pernyataan Bapak Sekjen yang mengatakan bahwa saya telah menyelewengkan uang HKBP sebesar biaya kerja dengan pihak Anderson & Partner. Tetapi saya mengenal beliau dengan sangat baik, dan sempat sangat dekat ketika melayani di Medan. Saya menjumpai beliau dan memaparkan hal yang sebenarnya terutama Surat Tugas yang saya terima.

Selanjutnya kami sempat memikirkan untuk memulai usaha HKBP melalui perkebunan kelapa sawit. Saya memberi usulan kepada Ompui Ephorus, agar beliau mencarikan dana pinjaman lunak dari donor luar negeri. Hasil usaha tsb akan dapat menjamin kemandirian dana Kantor Pusat dan dapat memningkatkan kesejahteraan pelayan HKBP. Namun, mungkin karena kondisi HKBP yang sudah mulai mengkuatirkan, beliau tidak memberi perhatian yang serius. Memang di bulan pertama awal tugas saya di Biro Keuangan, beliau pernah meminta saya untuk menyusun rencana Sistem Sentralisasi Keuangan HKBP termasuk penggajian; namun saya langsung menolak, karena menurut saya, sistem itu hanya akan membuat pelayan HKBP bermental “pegawai negeri” dan dana HKBP belum ada. Mungkin hal ini juga membuat beliau kurang serius.

TIM 10 REKONSILIASI HKBP

Keadaan HKBP semakin “panas”. Konsentrasi terha-dap pengembangan keuangan HKBP semakin terpecah oleh “tarik-menarik” kepentinganyang mulai sengit. Ancaman sering saya terima dari pihak-pihak tertentu; malah pisau komando beberapa kali dihujam di meja saya oleh beberapa oknum, juga dengan double stick karateka dan ancaman melalui telepon sering kami alami. Akhirnya saya pindah kantor ke Kantor Biro Jemaat.

Dan benar, krisis mencapai puncaknya dengan “terpecahnya HKBP” menjadi dua kubu. Dan saya berada di pihak Ephorus Pdt DR.S.A.E. Nababan, yang saya ikuti dengan kesadaran sendiri melalui pergumulan doa yang sangat panjang. Dan pilihan ini tidak pernah saya sesali malah saya syukuri. Tugas sebagai Kepala Biro Keuangan terpaksa dilakukan di “pengasingan”, di kantor yang berjalan dan berganti-ganti, dan merangkap banyak tugas seperti Bendahara Pusat, Inspektorat, Dana Pensiun, Penerbitan, dll. Saya dibantu oleh staf yang sangat baik dan solid, seperti Pdt. Dominggo Tambunan, Diakones Elfrida Lumbantobing, Diakones Ristua br Sirait, dll. Halaman-halaman tulisan ini tidak cukup memuat semua hal yang saya alami, juga yang dialami isteri, anak-anak dan keluarga saya, dan juga yang dialami seluruh teman-teman dan warga HKBP. Yang saya tahu pasti, Tuhan saya rasakan sangat dekat dengan saya, tanganNya sangat kuat menjagai saya dan keluarga saya. Doa-doa benar-benar sangat besar kuasanya. Apa yang tidak dapat saya pikirkan, benar-benar Tuhan berikan dan lakukan. Peristwa itu menempa saya semakin kuat dalam iman, dan mengajar saya semakin tahu arti persahabatan dan persaudaraan. Memang Tuhan sangat bijak, memberi kita kesulitan-kesulitan untuk membangun karakter, kasih, pengabdian, integritas, dan penyerahan diri hanya bagi Tuhan.

Dan satu hal yang paling saya syukuri adalah, saya ikut dipanggil Tuhan terlibat dalam usaha rekonsiliasi HKBP, dengan diangkat menjadi salah seorang anggota Tim 20 (dari masing-masing pihak 10 orang). Tim ini yang berhasil menyusun Konsep Sinode Godang Rekonsiliasi. Dan syukur bagi Tuhan, konsep itu diterima kedua belah pihak. Dan Sinode Godang Rekonsiliasi dapat dilaksanakan dengan sukses, walaupun masih dalam suasana ketegangan pasca pertikaian. Dalam kepanitiaan, saya mendapat tugas menjadi Bendahara Umum bersama Ibu Sariaty br Pardede. Dan Sinode Godang tsb mengawali langkah-langkah rekonsiliasi di HKBP, yang oleh kuasa Roh Kudus, telah berlangsung dengan sangat baik hingga hari ini. Dari seluruh tugas yang saya pernah terima, tugas inilah yang paling besar dan paling berkesan, dan yang paling saya syukuri kepada Tuhan.

Selama masa krisis tsb, Ompui Ephorus, Pdt. DR. S.A.E. Nababan menjadi “idola” bagi saya. Walaupun sering tidak sepaham dengan beliau, namun saya banyak belajar dari beliau tentang iman, tentang kepemimpinan, tentang pemecahan masalah, terutama membangun hubungan dengan orang lain. Dalam hal rekonsiliasi, beliau menunjukkan integritasnya yang sangat baik.

MENJADI PRAESES

Sinode Godang Rekonsiliasi menyita perhatian, waktu dan tenaga yang luar biasa. Sinode ini harus berlangsung dengan baik dan fair, dengan efisiensi yang tinggi. Saya mencurahkan segala kemampuan yang ada. Dan tidak pernah berpikir menjadi apa-apa, walaupun saya ikut menjadi anggota sinode.

Tetapi pada hari pemilihan Praeses, Bapak Pdt. Ramlan Hutahaean memberitahukan bahwa saya ikut dicalonkan sebagai Praeses dari pihak “SSA”. Hal yang tidak pernah saya duga. Terutama isteri saya yang juga berada di lingkungan tempat sinode berlangsung, setelah mendengar hal itu dia langsung memarahi saya: “Ho ma gabe Praeses, ndang olo au gabe inanta ni Praeses, ndang sanggup au tusi ….”. Saya menerangkan bahwa saya juga tidak mengetahui pencalonan tsb. Ternyata, saya menerima panggilan itu, menjadi Praeses HKBP. “Tung aha ma au nian ala tung ingkon pillitonMU?”

Rapat Parhalado Pusat menetapkan saya menjadi Praeses di HKBP Distrik III Humbang. Puji Tuhan, saya diberi kesempatan untuk membangun desa. Tetapi yang terutama adalah menyelesaikan krisis melalui usaha rekonsiliasi di semua aras. Itu bukanlah tugas yang mudah.

Doa adalah andalan. Rekonsiliasi demi rekonsiliasi dapat dilakukan di tingkat huria dan ressort. Saya harus akui, saya tidak memliiki kemampuan yang cukup melakukan itu. Namun, kuasa Roh Kudus yang benar-benar bekerja.

Namun pelayanan bukan hanya rekonsiliasi. Sambil melakukan rekonsiliasi, hidup sehari-hari masyarakat juga harus dibangun menuju masyarakat sejahtera sebagai bukti hadirnya Kerajaan Tuhan. Bersama dengan pendeta ressort, kami belajar banyak hal menyangkut pertanian dan ekonomi rakyat. Kompos Bokashi dimasyarakatkan untuk membantu masyarakat. Dengan bantuan Mitra Distrik Krefeld Jerman, peternakan babi, dan lebah madu dikembangkan. Demikian juga dengan pelatihan-pelatihan pertanian. Dengan bantuan mitra juga, beberapa proyek air minum dibangun. Persaudaraan dengan Badan Pengurus Mitra Krefeld Jerman sangat menggembirakan. Pdt. Rainer Ollesch, dll. merupakan sahabat yang sangat baik.

Pembinaan Parhalado terus digalakkan. Naposobulung digerakkan. Pembinaan Guru Sikola Minggu dilaksana-kan. Hubungan dengan gereja-gereja tetangga, yang sebelumnya sangat jauh akibat krisis HKBP kembali dirajut. Pembinaan parhalado dan pembinaan parompuan dilaksanakan bersama-sama dengan parhalado dan parompuan gereja-gereja tetangga.

Hal mengejutkan lagi datang. Rapat Parhalado Pusat menetapkan saya menjadi Praeses HKBP Distrik VIII Jawa Kalimantan di Jakarta. Ketika Ompui Ephorus memanggil saya ke kantornya untuk mengkonfirmasikan-nya, saya dengan sangat memohon agar beliau mau mengubah keputusan tersebut karena saya merasa tidak sanggup. Tetapi beliau memberi dorongan. Dan akhirnya, tugas tersebut kami terima. Dan benar, tugas itu sangat berat. Untungnya, saya sudah pernah melayani di Jakarta sehingga saya tidak kesulitan mengenal jalan-jalan. Dan terutama, abang-abang saya, Pdt. J.M. Manullang, MTh, dan Pdt. Rafles Lumbanraja yang telah diangkat menjadi Pelaksana Praeses Persiapan Distrik Jakarta-2 dan Jakarta-3 benar-benar menjadi teman kerja yang sangat baik. Banyak hal yang dapat kami kembangkan dalam pelayanan. Terutama membangkitkan jiwa Penginjilan dan Pelayanan (Diakonia) di antara jemaat. Perwakilan Departemen Pekabaran Injil yang diketuai Bpk. St. Prof. DR. Payaman Simanjuntak, dibantu ratusan anggota lainnya semakin tergerak, terpanggil, termotivasi melayani Tuhan melalui penginjilan ke penjara, rumah tahanan, rumah sakit. Dll. Bersama rekan mahasiswa STT Jakarta dibimbing Sdri Rospita br Sinaga, dan Bpk Pdt. Marisi Simanjuntak, M.Min kami melayani anak jalanan, pemulung dan gelandangan. Dibantu Ibu Ny Sitompul, kami sempat mendirikan rumah singgah bagi anak jalanan di daerah Menteng Wadas.

Bersama dengan Perwakilan Diakoni, yang diketuai Bpk St. DR Todung Lumbantoruan, ratusan warga merasa terpanggil melayani kaum miskin di daerah-daerah kumuh. Dibantu para dokter dari UKI dan warga HKBP, bekerjasama dengan Indofood, kelompok ini memberikan pengobatan gratis dan sembako gratis, serta konseling setiap bulan bagi warga miskin di daerah-daerah kumuh tsb.

Guna menampung minat penginjilan yang sangat tinggi itu, dengan Surat Ketetapan dari Ephorus HKBP, didirikanlah Sekolah Evangelis di Jakarta. Dalam 2 (dua) angkatan, dapat meluluskan sekitar 150 orang evangelist yang menerima tahbisan dari Ephorus HKBP. Mereka melakukan tugas penginjilan dengan cara, tempat dan waktu yang berbeda sesuai dengan keberadaan mereka masing-masing.

Pada tahun 2003, diketuai Bpk Ferdinand Nainggolan, Deputy BUMN, HKBP Distrik VIII Jawa Kalimanta melaksanakan Malam Pujian dan Doa di Senayan Jakarta yang dihadiri sekitar 30.000 orang, dan dihadiri juga Bpk Taufik Kiemas dan Menteri Agama. Operette Paskah disutradarai Bpk Edward Pesta Sirait, didukung koor Natanyahu Tabernakel Indonesia pimpinan Bpk. Arta Tambunan menyemarakkan acara tsb. Kegiatan tsb dilaksanakan dalam rangka Safari Paskah 2003, yang berhasil mengumpulkan dana sekitar Rp. 4 miliar, yang sebagian dibagikan sebagai sumbangan kepada saudara-saudara kita yang beragama Islam di Jabodetabek berupa hewan kurban, dan sebagian lagi untuk Dana Pensiun HKBP.

Dalam periode ini, “parhaha-maranggion” dengan sesama Praeses sangat menggembirakan. Rekonsilasi dapat berjalan baik, terutama karena Praeses terlebih dahulu melakukannya dengan hati yang tulus. Terutama dengan Ompui Ephorus, Pdt. DR. J.R. Hutauruk, menjadi faktor pendorong, pemberi semangat, dan memberi banyak inspirasi pelayanan bagi saya. Beliau bukan hanya sebagai Pimpinan, tetapi terutama menjadi sahabat. Demikian halnya dengan Ephorus Emeritus, Pdt DR. S.A.E. Nababan yang setelah pensiun menetap di Jakarta Selatan, memberi saya banyak dorongan dan inspirasi dalam pelayanan. Demikian juga dengan Sekjen Emeritus, Bpk. Pdt. DR. S.M. Siahaan, memberi saya dorongan.

MENJADI PRAESES LAGI!!

Tuhan, Raja Gereja rupanya masih berkenan memberi saya kepercayaan lagi sebagai Praeses dengan terpilihnya lagi saya di Sinode Agung HKBP 2004. Kali ini saya ditempatkan di distrik siampudan, yaitu Distrik XXVI Labuhanbatu, bertempat tinggal di Rantau Prapat. Harus saya akui, sebelum berangkat, saya bingung, apa yang Tuhan inginkan untuk saya lakukan di Labuhanbatu. Karena saya tidak mengenal daerah ini dengan baik.

Setelah beberapa bulan, barulah saya mulai mengerti maksud Tuhan. Pembinaan Sumber Daya Manusia menjadi prioritas utama. Karena itu pembinaan demi pembinaan terus dilakukan. Syukur pada Tuhan, banyak teman-teman yang dengan sukarela membantu kami, seperti Bpk. Dr. HP. Panggabean, SH (mantan Hakim Agung) dalam menyelenggarakan Seminar Adat, BPK Gunung Mulia Medan dalam pengadaan buku-buku dan pembinaan Guru Sekolah Minggu, BKS Marturia Jakarta dalampembinaan tenaga penginjil, STT-HKBP dalam konseling, dan banyak lagi yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Namun harus saya akui, masih banyak “hutang” yang masih harus saya bayar dalam pelayanan di distrik ini. Kesulitan yang utama adalah wilayah pelayanan yang sangat luas dengan sarana dan prasarana yang sangat terbatas dan kondisi transportasi yang kurang mendukung.

Tetapi yang menakjubkan saya, ternyata Tuhan menginginkan saya untuk membagi pengalaman iman dalam Kristus dengan banyak orang melalui tulisan. Sebelumnya, menulis merupakan hal tersulit bagi saya. Namun, di Rantau Prapat ini, Tuhan membuka “keran” saya, dan saya mulai menuliskan beberapa tulisan, terutama buku-buku kotbah. Buku Marturia, yang memuat bahan kotbah di HKBP selama 3 (tiga) bulan ke depan telah diterbitkan Biro Pekabaran Injil HKBP, Pematangsiantar, dan sekarang sudah pada edisi ke 5, tahun ke-2, yang dicetak dan disebarkan sebanyak 1.000 eksemplar setiap edisi. BKS Marturia Jakarta menerbitkan buku Kepemimpinan Yang Berhikmat, yang berisikan kotbah-kobat saya di masa lalu. Saya berdoa semoga tulisan-tulisan tsb dapat membantu banyak orang untuk mengenal Yesus, maupun membantu banyak orang dalam pelayanan.

Pada hari bersejarah, hari syukuran 25 tahun kependetaan saya, Tuhan memberi saya kesempatan menuliskan buku “Berkotbah”. Buku ini lebih banyak membahas tentang cara menyampaikan berkotbah, yang saya rasakan sangat diperlukan oleh pengkotbah-pengkotbah saat ini. Terutama dengan munculnya “pesaing-pesaing” dari kelompok-kelompok lain yang relatip lebih mahir dalam hal menyampaikan kotbah (walaupun dalam hal isi, belum tentu cukup baik). Semoga Tuhan, yang memanggil saya menjadi pendeta, hambaNya, menerima buku ini sebagai persembahan kudus di hadapanNya.

HUTANG-HUTANG YANG BELUM TERBAYAR

Sejak diberi tugas di ulaon hatopan HKBP, saya merasa terpanggil untuk melaksanakan 3 tugas, yang hingga hari ini masih merupakan hutang-hutang yang harus saya bayar kepada Tuhan. Saya akan tetap berdoa semoga Tuhan mengizinkan saya membayar hutang-hutang tsb, yaitu:

  1. Memperbaiki Dana Pensiun HKBP. Dan syukur bagi Tuhan, sampai hari ini, di dalam keterbatasan saya, saya diberi kesempatan untuk turut membangun Dana Pansiun HKBP. Satu hal yang saya syukuri, hingga hari ini, Tuhan Raja Gereja masih terus mau membantu HKBP memperbaiki Dana Pensiun HKBP. Saya berdoa, kiranya semua Pimpinan HKBP, terutama anggota Dana Pensiun HKBP mensyukuri hal ini.
  2. Membangun Kemandirian Dana Kantor Pusat HKBP. Selama menjadi kepala Biro Keuangan HKBP dan sebagai Praeses, saya melihat bahwa kemandirian Dana Kantor Pusat HKBP harus segera dilakukan. Kantor Pusat lambat laun tidak boleh terikat dengan “setoran” Pelean II/Namarboho dari huria. Kantor Pusat pada akhirnya harus mandiri dan malah dapat membantu jemaat-jemaat kecil, terutama dalam hal membangun pos-pos pelayanan. Selama ini, hanya ruas ni huria yang aktip dan berprakarsa mendirikan jemaat baru. Hal tsb bisa berlangsung baik, karena masih belum ada “pesaing”. Tetapi dengan hadirnya “pesaing” baru dari banyak kelompok dewasa ini, HKBP Pusat harus lebih proaktip mengirim pelayan untuk mendirikan pso-pos pelayanan baru, terutama di daerah pemukiman baru, sehingga HKBP lebih cepat berkembang. Untuk itu, dana Kantor Pusat harus memadai.Guna mencapai sasaran itu, HKBP mutlak harus memiliki Badan Usaha yang menguntungkan. Saya yakin, Tuhan menyediakan potensi yang cukup besar di antara warga jemaat untuk keperluan itu.
  3. Kesejahteraan para pelayan HKBP, dengan sistem penggajian yang adil, merata dan proporsional., sebagaimana saya sudah singgung di atas. Ketegangan akibat mutasi akan berkurang bila kesejahteraan yang berkeadilan bagi para pelayan terjamin. Di samping itu, para pelayan harus dibantu untuk menggunakan “uang”nya yang serba terbatas itu agar berdaya guna besar. Mereka harus dibantu untuk memilih investasi dengan dananya yang terbatas namun menghasilkan “hasil” yang besar. Dalam hal ini juga, Tuhan menyediakan warga HKBP yang berseda membantu.

NAMA TUHAN SAJALAH YANG DIMULIAKAN

Syukuran 25 tahun kependetaan saya ini adalah waktu yang sangat baik bagi saya untuk mengucap syukur bagi Tuhan. Hanya kasih anugerahNya sajalah yang mamarar saya, orang ang tidak berguna ini untuk melayaniNya. Apapun yang telah saya lakukan dan raih dalam pelayanan selama 25 tahun ini menjadi pendeta, saya harus selalu mengaku: “Aku ini hanyalah hamba yang tidak berguna; saya hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan”. Riwayat hidup ini adalah bagian ungkapan syukur saya, karea di sinilah saya akui, bahwa saya ini bukan apa-apa dan siapa-siapa. Saya hanyalah hamba tak berguna, yang selalu memandang dan berserah kepada Dia yang mengutus saya. Dia sajalah yang menganugerahkan segala kemampuan, kesehatan, semangat dan akal budi. Dia pula yang memberi saya isteri yang setia, yang menjadi sahabat, mitra terbaik, dalm suka dan duka. Dia pulalah yang memberi saya anak-anak yang manis dan baik, yang bisa membuat saya tertawa dan bersemangat. Dia-lah yang memberi saya orangtua yang mau mempersembahkan, mempersiapkan dan mendidik saya menjadi hamba Tuhan. Dia pulalah yang memberi saya sahabat-sahabat, baik sesama pelayan, maupun warga jemaat yang sangat banyak memberi saya bantuan dan dorongan.

Bila saya dapat melayani Dia selama 25 tahun ini sebagai pendeta, hanya bagi Dialah kemuliaan, pujian dan segala hormat. Doa saya, semoga Dia masih berkenan memberi saya waktu, kesempatan, kemampuan dan hikmat untuk melakukan tugas suci dariNya. Semoga dalam segala kelemahan dan keterbatasan saya, Dia berkenan mamarar saya. Terpujilah Dia kekal hingga selama-lamanya. Amin.

Rantau Prapat, 31 Oktober 2007.

Pdt. Sabar Tumpal Paimaon Siahaan.

NAMA-NAMA PENDETA YANG MENERIMA TAHBISAN TANGGAL 31 OKTOBER 1982 DI HKBP HUTANAMORA, HUMBANG

1. Pdt. Binsar Sinaga, HKBP Ressort Duri, PT CPI (CALTEX), PO Box 231, DURI – RIAU, 28884

2. Pdt. Benny H. Sitompul, HKBP Ressort Bali, Jl. PB SUDIRMAN TIMUR Gg Karya Bakti II no 10 DENPASAR TIMUR, BALI – 80232

3. Pdt. C.O.Rahidin Silaban, Praeses HKBP Distrik Aslab, Jl. Sisingamangaraja 308, KISARAN, SUMUT – 21214

4. Pdt. Esra Edison Pangaribuan, Dosen Univ HKBP Nommensen, Jl. Sutomo no. 4 A, MEDAN – SUMUT, 20234

5. Pdt. Luat H Silaban, HKBP Ressort Kalimantan Timur, Jl. May. Sutoyo RT 38/11 no 63, Gunung Malang PO Box 436, BALIKPAPAN – KALTIM, 76113.

6. Pdt. Lumbanraja Manurung, Dana Pensiun HKBP, Jl. Uskup Agung Sugiopranoto no 6, MEDAN – SUMUT, 20152.

7. Pdt. Mangatas M Tambunan, HKBP Ressort Medan Helvetia Desa Teladan, Jl. Beringin X no. 9 Desa Teladan, HELVETIA MEDAN-SUMUT.

8. Pdt. Marjabat Panjaitan, HKBP Ressort Kisaran, Jl. Sisingamangaraja no. 308. KISARAN – SUMUT, 21413

9. Pdt. Petrus M.H. Simangunsong, HKBP Ressort Jakarta, Jl. Kramat IV/37 KERNOLONG, JAKARTA PUSAT

10. Pdt. Pujiarja, d/a HKBP Kisaran, Jl. Sisingamangaraja 308 KISARAN – SUMUT, 21214

11. Pdt. Sahala J Lumbangaol, HKBP Ressort Helvetia, Jl. Mawar Raya no. 5 Blok 16, PERUMNAS HELVETIA, MEDAN – SUMUT, 20214

12. Pdt. Saur Simanjuntak, HKBP Ressort Banjarmasin, Jl. Pangeran Samudera no. 20, BANJARMASIN – KALSEL, PO BOX 371-70111.

13. Pdt. Sihar H Sirait, HKBP Ressort Helvetia, Jl. Mawar Raya no. 5 Blok 16, PERUMNAS HELVETIA, MEDAN – SUMUT, 20214.

14. Pdt. S.T.P. Siahaan, HKBP Distr XXVI Labuhanbatu, Jl. Ir. H. Juanda no. 2 RANTAU PRAPAT – SUMUT, 21413